Alumni 12 Ipa 1 MAN Babakan Tegal 2009

HAI SEMUANYA... SALAM DAMAI DARI KAMI,TETAP SEMANGAT!!!!!!

Kekuasaan yang dibangun Muawiyah bagi Daulat Umayah diawali dengan noda hitam. Pemberontakan Muawiyah terhadap Khalifah Ali yang melahirkan Perang Shiffin menyebabkan sekitar 80 ribu orang tewas. Badri Yatim, dalam buku ‘Sejarah Peradaban Islam’ menyebut: “Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.” Praktek yang bertolak belakang dengan nilai Islam sebenarnya.

Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai penggantinya. Cara demikian tidak dikenal Islam dalam pemilihan pemimpin negara. Masyarakat berontak. Sebagian mengangkat Hussein anak Ali sebagai khalifah. Melalui penipuan, Yazid menghancurkan kubu Hussein. Hussein yang berencana memenuhi ajakan damai Muawiyah, ternyata dibunuh. Di padang Karbala, Hussein dipenggal. Kepalanya dibawa ke Damaskus.

Abdullah anak Zubair juga tak mengakui kekhalifahan Yazid. Abdullah berkedudukan di Mekah. Tentara kerajaan di masa Khalifah Abdul Malik kemudian menyerbu Mekah. Keluarga Zubair dihancurkan. Abdullah wafat dalam pertempuran pada 73 H atau 692 Masehi.

Di masa Muawiyah, kekuasaan melebar ke Barat hingga Tunisia yang berada di seberang Italia. Di Timur, wilayah kekuasaan telah menjangkau seluruh tanah Afghanistan sekarang. Ekspedisi laut berulangkali menyerbu ke Byzantium, namum gagal menaklukkan Romawi. Wilayah itu kemudian diperluas oleh Khalifah Abdul Malik. Wilayah Asia Tengah seperti Bukhara, Khawarizm, Ferghana hingga Samarkand mereka kuasai, bahkan wilayah Sind dan Punyab di India dan Pakistan.

Terobosan paling monumental terjadi di Gibraltar, Spanyol, di masa Khalifah Walid. Seluruh wilayah Afrika Utara -termasuk Aljazair dan Maroko- mereka kuasai. Pada tahun 711 Masehi, Panglima Perang Thariq bin Ziyad memimpin pasukan menyeberang selat dari Maroko ke dataran Spanyol di Eropa. Ibukota Spanyol segera mereka kuasai. Demikian pula kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo. Seluruh Spanyol pun menjadi wilayah kekusaan Bani Umayah.

Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tentara Bani Umayah di bawah komando Panglima Abdul rahman bin Abdullah Al-Ghafiqi, bergerak dari Spanyol menuju Perancis. Setelah melalui pegunungan Piranee, mereka menguasai Bordeau, Poitiers dan hendak maju ke kota Tours. Di tempat ini terjadi pertempuran yang menewaskan Al-Ghafiqi. Tentara itu pun mundur kenmali ke Spanyol.

Dengan rentang wilayah kekuasaan yang sangat luas, di abad ke-8 Masehi tersebut, Bani Umayah merupakan kekuasaan yang paling besar di dunia. Kekuasaan besar lainnya adalah Dinasti Tang di wilayah Cina serta Romawi yang berpusat di Konstantinopel. Ke wilayah kekuasaan Bani Umayah itulah Islam kemudian menyebar dengan cepat.

Namun adalah sebuah kemustahilan untuk mempertahankan wilayah yang begitu luas terus-menerus. Apalagi masyarakat kemudian kehilangan rasa hormatnya pada kekhalifahan. Pemberontakan muncul di sana-sini. Yang terkuat adalah pemberontakan oleh Abdullah Asy-Syafah, atau Abu Abbas. Ia keturunan Abbas bin Abdul Muthalib -paman Rasulullah. Ia disokong oleh keluarga Hasyim -keluarga yang terus berseteru dengan Keluarga Umayah. Kalangan Syi’ah -para pendukung fanatik Ali- mendukung pula gerakan ini.

Abu Abbas kemudian bersekutu dengan tokoh kuat, Abu Muslim dari Khurasan. Pada tahun 750 Masehi, mereka berhasil menjatuhkan kekuasaan Bani Umayah. Khalifah terakhir, Marwan bin Muhammad, lari ke Mesir namun tertangkap dan dibunuh di sana. Berakhirlah kekuasaan Bani Umayah ini, meskipun keturunannya kemudian berhasil membangun Bani Umayah kedua di wilayah Spanyol.

www.pesantren.net

Oleh : Mardias Gufron

A. Pengantar

Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar.

Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam.

Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :

1. Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.
2. Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya dan terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
3. Penganggapan rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
4. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang terang-terangan. [1]

Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah.[2] Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah. Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim.[3]

Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran.[4] Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung Daulah Umayah Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani. Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau As-Saffar.[5] Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah.

Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia [6]

B. Tiga Dinasti dalam Daulah Abbasiyah

Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.

Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan (harem). Kehidupan lebih cenderung pada kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak dapat disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun perebutan kekuasaan secara internal. [7]

a. Bani Abbas (750-932 M)

1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)

b. Bani Buwaihi (932-1075 M)

19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)

c. Bani Saljuk (1075-1258 M)

27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)

C. Periodisasi dalam Daulah Abbasiyah

a. Periode pertama (750-847 M)

Diawali dengan tangan besi

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah Abu Abbas As-Safah. Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi kekhalifahan Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan kebijakan-kebijakan yang cukup tegas, kebijakan itu adalah memusnahkan anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta menggunakan suatu agen rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan Bani Umayah, bila perlu membunuhnya. Koordinator pelenyapan keluarga Bani Umayah itu diserahkan kepada Abdullah pamannya Abu Abbas.[8]

Perlakuan kejam itu tidak hanya kepada orang-orang Umayah yang masih hidup, melainkan juga kepada mereka yang sudah meninggal, dengan cara mengeluarkan jenazah mereka dan membakarnya. Sedangkan makam yang tidak digali, adalah makam Muawiyah bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz.[9] Sehingga akhirnya menimbulkan banyak pemberontakan, namun pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Abu Abbas. Setelah Abu Abbas meninggal dia diganti oleh Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M)

Abu Jakfar Al-Mansur adalah Khalifah Daulah Abbasiyah yang dikenal paling kejam. Namun dialah yang paling berjasa dalam mengkonsolidasikan dinasti Abbasiyah sehingga menjadi kuat dan kokoh, dia meletakkan dasar-dasar pemerintahan bani Abbasiyah dan tidak-segan-segan melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu pemerintahannya.[10]
Untuk menunjang langkah menuju masa kejayaan beberapa kebijakan penting yang diambil oleh Al-Mansur yaitu memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Sementara itu perbaikan juga dilakukan di bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Petugas pos-pos komunikasi dan surat-menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan. Tak urung gejala pemberontakan itu memang muncul di mana-mana, misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri. Namun demikian pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur. Selain itu salah satu kebijakan Al-Mansur adalah melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan, antara lain ke wilayah Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.

Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti itu berada pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).[11]

Pergeseran Kebijakan

Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini, provinsi-provinsi terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka.[12]

Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu ketika orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah (Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.[13]

Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan ke barat dipergiat. Kota Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang serba lengkap.[14]

Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa itu berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.

Kecenderungan orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.

Sebagai respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.

Salah satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Persia, dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.

Pada masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah universitas ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah terhadap buku-buku kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam. Di masa-masa berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan melakukan inovasi dan penemuan sendiri. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.

Zaman Keemasan

Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.

Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.

Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran muktazilah yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari sastera Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M. Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan beberapa sastrawan besar lainnya.[15]

Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

b. Periode kedua (847-945 M)[16]

Kebijakan Khalifah Al-Muktasim (833-842 M) untuk memilih unsur-unsur Turki dalam ketentaraan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah terutama dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Di masa Al-Muktasim (833-842 M) dan Khalifah sesudahnya Al-Wasiq (842-847 M), mereka mampu mengendalikan unsur-unsur Turki tersebut. Akan tetapi, Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat Khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun resminya mereka adalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu mengalami kegagalan. Pada tahun 892 M, Baghdad kembali menjadi Ibukota. Sementara kehidupan intelektual terus berkembang.

Akibat adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka memang mulai melemah. Mulailah Khalifah Ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq, Gubernur wasit dari Basra. Di samping itu, Khalifah memberinya gelar Amirul Umara (Panglima para panglima). Meskipun demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik. Dari dua belas Khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.

Pemberontakan masih bermunculan pada periode ini, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak Selatan dan pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun bukan itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik Daulah Abbasiyah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut, pertama, luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Berbarengan dengan itu kadar saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, Yang kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, Khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

c. Periode Ketiga (945-1055 M)

Posisi Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan pemberontakan tentara.

d. Periode Keempat (1055-1199 M)

Periode keempat ini ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ’’undangan’’ Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad. Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.

Seperti halnya pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang dalam periode ini. Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Madrasah ini telah melahirkan banyak cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya yang dilahirkan dalam periode ini adalah Az-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Usul ad-dien (Teologi), Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing provinsi. Pada masa pusa kekuasaan melemah, masing-masing provinsi memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikrit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan Khawarizmisyah pada tahun 1199 M.

e. Periode Kelima (1199-1258 M)

Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasiyah dalam periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi hanya di baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.

Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua, terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.

Sedangkan faktor-faktor ekstern yang terjadi adalah, pertama, berlangsungnya perang salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah faktor kedua yaitu, adanya serbuan tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.

Kekejaman Bangsa Mongol[17]

Khalifah Al-Muktasim, Khalifah Daulah Abbasiyah yang paling akhir, beserta seluruh putra-putranya dan semua pembesar-pembesar kota Baghdad mati dibunuh semuanya oleh tentara Mongol. Sebagian besar penduduk kota itu disembelih laksana binatang saja. Sesudah itu mereka merampas harta benda penduduk dan melakukan perbuatan-perbuatan kejam dab ganasnya tiada terperikan. Sekalian isi istana dan perbendaharaan negara mereka rampas semuanya. Istana dan gedung-gedung yang indah, madrasah dan mesjid-mesjid yang mengagumkan mereka rusak. Buku-buku pengetahuan yang tak ternilai harganya, mereka lemparkan ke dalam sungai Tigris sehingga hitam lantaran tinta yang luntur. Mereka membakar di sana-sini sehingga api mengamuk di seluruh kota. Peristiwa kekejaman ini berlaku sampai 40 hari lamanya. Di atas bumi kota Baghdad, tak ada lagi yang kelihatan, selain dari tumpukan bara hitam yang masih berasap.

Daulah Abbasiyah Lenyap

Dengan kematian Al-Muktasim lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur dalam bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.

Dalam masa lima abad lamanya, yakni sejak dari Abu Abbas As-Safah memerintah pada 750 M sampai hari mangkatnya Al-Muktasim pada 1258 M, telah ada 37 orang Khalifah menduduki singgasana Daulah Abbasiyah.

Penutup

Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, Pada masa ini kedaulatan umat Islam telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan. Pada zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu sumbangan umat Islam bagi peradaban dunia juga dihasilkan oleh para cendikiawan-cendikiawan besar yang hidup di masa Daulah Abbasiyah ini. Namun ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari perjalanan panjang Daulah Abbasiyah yang selama berabad-abad menguasai dunia yakni agar umat Islam jangan terlena dengan kekuasaan dunia, karena keterlenaan dan hidup bermegah-megah menyebabkan kita jauh dari ajaran Allah SWT. Hal juga merupakan pemicu bagi umat Islam untuk kembali bangkit merebut kejayaan Islam yang pernah dirasakan pada masa Daulah Abbasiyah.

Daftar Pustaka
Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995.
Misbah, Ma’ruf dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang, CV. Wicaksana, 1996.
Su’ud, Abu, Islamologi, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3, Jakarta: Al-Husna Dzikra, 1997.
Tibrizi, E. Abdul Aziz, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, Tangerang: Pondok Pesantren Daar El-Qolam.
Watt, W. Montgomery, Islam dan Peradaban Dunia : Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan (Terjemahan oleh Hendro Prasetyo), Jakarta: Penerbit Gramedia, 1995.

[1] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995, h. 210.

[2] Abu Su’ud, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, h. 72

[3] Ibid

[4] A. Hasjmy, op.cit., h. 211.

[5] Abu Su’ud, op.cit., h. 72

[6] Ibid

[7] Ibid, h. 73

[8] E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, Tangerang, :Pon-pest DaaEl-Qolam, h. 46

[9] Ibid

[10] Ibid, h. 47

[11] Abu Su’ud, op.cit., h. 75

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Ibid, h. 78

[16] Ibid, h. 79-82

[17] Ma’ruf Misbah dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV. Wicaksana, h. 61
selengkapnya>>

Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di seluruh dunia. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Sejarah awal penyebaran Islam di sejumlah daerah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia sangatlah beragam. Penyebaran Islam di tanah Jawa sebagian besar dilakukan oleh walisongo (sembilan wali). Berikut ini adalah informasi singkat mengenai walisongo.

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha

Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di seluruh dunia. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Sejarah awal penyebaran Islam di sejumlah daerah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia sangatlah beragam. Penyebaran Islam di tanah Jawa sebagian besar dilakukan oleh walisongo (sembilan wali). Berikut ini adalah informasi singkat mengenai walisongo.

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat)

selengkapnya {klik neng kene}

Berhubung dalam comment di beberapa artikel dan di shoutbox ada sahabat yg menanyakan tentang pacaran dalam islam maka berikut saya carikan artikel kemudian saya posting kembali di sini dengan menyertakan sumber artikelnya. Semoga bermanfaat�

1. Hukum pacaran itu bagaimana sih? �.
2. Saya ingin tanya tentang pergaulan antara pria dan wanita menurut syariat islam! dan bagaimana hukumnya apabila tidak berpacaran namun bergaul dengan pria lain dan pria itu timbul perasaan terhadap kita walaupun kita tidak ingin dikatakan berpacaran dengan pria itu walaupun wanitanya lama-lama juga timbul perasaan tertarik pada pria tersebut? Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya! �
3. Saya muslimah ingin menyakan tentang hukum pacaran saya pernah dengar katanya pacaran itu haram lalu bagi cowok untuk mengetahui sifat/karakter pujaannya bisa mengirim saudaranya untuk mengetahui nya(mohon koreksinya), lalu bagaimana dengan cewek? apakah juga perlu mengirimkan saudaranya untuk mengetahui sifat cowok pujaanya? �

Jawaban:

Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan nonmahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.

Uturan untuk mahram sudah jelas, yaitu seorang laki-laki boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan mahramnya, semisal bapak dengan putrinya, kakak laki-laki dengan adiknya yang perempuan, dan seterusnya. Demikian pula, dibolehkan bagi mahramnya untuk tidak berhijab di mana seorang laki-laki boleh melihat langsung perempuan yang terhitung mahramnya tanpa hijab ataupun tanpa jilbab (tetapi bukan auratnya), semisal bapak melihat rambut putrinya, atau seorang kakak laki-laki melihat wajah adiknya yang perempuan. Aturan yang lain yaitu perempuan boleh berpergian jauh/safar lebih dari tiga hari jika ditemani oleh laki-laki yang terhitung mahramnya, misalnya kakak laki-laki mengantar adiknya yang perempuan tour keliling dunia. Aturan yang lain bahwa seorang laki-laki boleh menjadi wali bagi perempuan yang terhitung mahramnya, semisal seorang laki-laki yang menjadi wali bagi bibinya dalam pernikahan.

Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan nonmahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh mahram aslinya. Misalnya, seorang siswi SMU yang ingin berbicara dengan temannya yang laki-laki harus ditemani oleh bapaknya atau kakaknya. Dengan demikian, hubungan nonmahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam. Perhatikan dan renungkanlah uraian berikut ini.

Firman Allah SWT yang artinya, �Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.� (Al-Isra: 32).

�Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: �Hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya �.� Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin perempuan: �Hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya ��.�
(An-Nur: 30�31).

Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan dapat dikatakan terpelihara apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat mengulangi melihat lagi atau mengamat-amati kecantikannya atau kegantengannya.

Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, �Saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, �Palingkanlah pandanganmu itu!� (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, �Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.� (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah).

�Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua teling zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya.� (HR Bukhari).

Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, �Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.� (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Al-Hakim meriwayatkan, �Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.�

Yang terendah adalah zina hati dengan bernikmat-nikmat karena getaran jiwa yang dekat dengannya, zina mata dengan merasakan sedap memandangnya dan lebih jauh terjerumus ke zina badan dengan, saling bersentuhan, berpegangan, berpelukan, berciuman, dan seterusnya hingga terjadilah persetubuhan.

Ath-Thabarani dan Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, �Allah berfirman yang artinya, �Penglihatan (melihat wanita) itu sebagai panah iblis yang sangat beracun, maka siapa mengelakkan (meninggalkannya) karena takut pada-Ku, maka Aku menggantikannya dengan iman yang dapat dirasakan manisnya dalam hatinya.�

Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, �Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.�

Di dalam kitab Dzamm ul Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan dari Abu al-Hasan al-Wa�ifdz bahwa dia berkata, �Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa�idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, �Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?� Dia menjawab, �Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, �Wahai Habib?� Aku menjawab, �Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.� Allah berfirman, �Lewatlah Kamu di atas neraka.� Maka, aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, �Aduh (karena sakitnya).� Maka. Dia memanggilku, �Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).�

Hal tersebut sebagai gambaran bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.

�Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka, aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, �Apa ini?� Kedua orang itu berkata, �Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina.� (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis di ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Di dalam kitab Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a., keduanya berkata, Rasulullah saw. Berkhotbah, �Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barang siapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barang siapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan dibelenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan, barang siapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda, dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.�

�Atha� al-Khurasaniy berkata, �Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas, dan paling bisuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.�

Dari Ghazwan ibn Jarir, dari ayahnya bahwa mereka berbicara kepada Ali ibn Abi Thalib mengenai beberapa perbuatan keji. Lantas Ali r.a. berkata kepada mereka, �Apakah kalian tahu perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Jalla Sya�nuhu?� Mereka berkata, �Wahai Amir al-Mukminin, semua bentuk zina adalah perbuatan keji di sisi Allah.� Ali r.a. berkata, �Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepada kalian sebuah bentuk perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Tabaaraka wa Taala, yaitu seorang hamba berzina dengan istri tetangganya yang muslim. Dengan demikian, dia telah menjadi pezina dan merusak istri seorang lelaki muslim.� Kemudian, Ali r.a. berkata lagi, �Sesungguhnya akan dikirim kepada manusia sebuah aroma bisuk pada hari kiamat, sehingga semua orang yang baik maupun orang yang buruk merasa tersiksa dengan bau tersebut. Bahkan, aroma itu melekat di setiap manusia, sehingga ada seseorang yang menyeru untuk memperdengarkan suaranya kepada semua manusia, �Apakah kalian tahu, bau apakah yang telah menyiksa penciuman kalian?� Mereka menjawab, �Demi Allah, kami tidak mengetahuinya. Hanya saja yang paling mengherankan, bau tersebut sampai kepada masing-masing orang dari kita.� Lantas suara itu kembali terdengar, �Sesungguhnya itu adalah aroma alat kelamin para pezina yang menghadap Allah dengan membawa dosa zina dan belum sempat bertobat dari dosa tersebut.�

Bukankah banyak kejadian orang-orang yang berpacaran dan bercinta-cinta dengan orang yang telah berkeluarga? Jadi, pacaran tidak hanya mereka yang masih bujangan dan gadis, tetapi dari uisa akil balig hingga kakek nenek bisa berbuat seperti yang diancam oleh hukuman Allah tersebut di atas. Hanya saja, yang umum kelihatan melakukan pacaran adalah para remaja.

Namun, bukan berarti tidak ada solusi dalam Islam untuk berhubungan dengan nonmahram. Dalam Islam hubungan nonmahram ini diakomodasi dalam lembaga perkawinan melalui sistem khitbah/lamaran dan pernikahan.

�Hai golongan pemuda, siapa di antara kamu yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih memelihara kemaluan. Tetapi, siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengurangi syahwat.� (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darami).

Selain dua hal tersebut di atas, baik itu dinamakan hubungan teman, pergaulan laki perempuan tanpa perasaan, ataupun hubungan profesional, ataupun pacaran, ataupun pergaulan guru dan murid, bahkan pergaulan antar-tetangga yang melanggar aturan di atas adalah haram, meskipun Islam tidak mengingkari adanya rasa suka atau bahkan cinta. Anda bahkan diperbolehkan suka kepada laki-laki yang bukan mahram, tetapi Anda diharamkan mengadakan hubungan terbuka dengan nonmahram tanpa mematuhi aturan di atas. Maka, hubungan atau jenis pergaulan yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda adalah haram. Kalau masih ingin juga, Anda harus ditemani kakak laki-laki ataupun mahram laki-laki Anda dan Anda harus berhijab dan berjilbab agar memenuhi aturan yang telah ditetapkan Islam.

Hidup di dunia yang singkat ini kita siapkan untuk memperoleh kemenangan di hari akhirat kelak. Oleh karena itu, marilah kita mulai hidup ini dengan bersungguh-sungguh dan jangan bermain-main. Kita berusaha dan berdoa mengharap pertolongan Allah agar diberi kekuatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Semoga Allah menolong kita, amin.

Adapun pertanyaan berikutnya kami jawab bahwa cara mengetahui sifat calon pasangan adalah bisa tanya secara langsung dengan memakai pendamping (penengah) yang mahram. Atau, bisa melalui perantara, baik itu dari keluarga atau saudara kita sendiri ataupun dari orang lain yang dapat dipercaya. Hal ini berlaku bagi kedua belah pihak. Kemudian, bagi seorang laki-laki yang menyukai wanita yang hendak dinikahinya, sebelum dilangsungkan pernikahan, maka baginya diizinkan untuk melihat calon pasangannya untuk memantapkan hatinya dan agar tidak kecewa di kemudian hari.

�Apabila seseorang hendak meminang seorang wanita kemudian ia dapat melihat sebagian yang dikiranya dapat menarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah.� (HR Abu Daud).

Hal-hal yang mungkin dapat dilakukan sebagai persiapan seorang muslim apabila hendak melangsungkan pernikahan.
1. Memilih calon pasangan yang tepat.
2. Diproses melalui musyawarah dengan orang tua.
3. Melakukan salat istikharah.
4. Mempersiapkan nafkah lahir dan batin.
5. Mempelajari petunjuk agama tentang pernikahan.
6. Membaca sirah nabawiyah, khususnya yang menyangkut rumah tangga Rasulullah saw.
7. Menyelesaikan persyaratan administratif sesui dengan peraturan daerah tempat tinggal.
8. Melakukan khitbah/pinangan.
9. Memperbanyak taqarrub kepada Allah supaya memperoleh kelancaran.
10. Mempersiapkan walimah.

Demikian uraian jawaban kami, wallaahu a�lam.
______________________
Sumber : Al Islam Or Id

Penelitian kami terhadap ayat-ayat Al-Quran, As-Sunnah dan atsar-atsar Salaf dalam masalah yang penting ini, memberikan jawaban kepada kami bahwa jika seorang wanita keluar dari rumahnya, maka ia wajib menutup seluruh anggota badannya dan tidak menampakkan sedikitpun perhiasannya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya, maka ia harus menggunakan pakaian (jilbab) yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :


1. MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN

Syarat ini terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Nuur : 31 berbunyi : "Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudar mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (=keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."

Juga firman Allah dalam surat Al-Ahzab : 59 berbunyi : "Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin : "Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."

Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya : "Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi, kecuali yang tidak mungkin disembunyikan." Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. "Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan."

Al-Qurthubi berkata : Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : "Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini." Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya."

2. BUKAN BERFUNGSI SEBAGAI PERHIASAN

Ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 berbunyi : "Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka." Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33 : "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah."

Juga berdasarkan sabda Nabi : "Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya." (Dikeluarkan Al-Hakim 1/119 dan disepakati Adz-Dzahabi; Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad; At-Thabrani dalam Al-Kabir; Al-Baihaqi dalam As-Syuaib).

Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).

3. KAINNYA HARUS TEBAL (TIDAK TIPIS)

Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali harus tebal. Jika tipis, maka hanya akan semakin memancing fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : "Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk." Di dalam hadits lain terdapat tambahan : "Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian." (At-Thabrani dalam Al-Mujam As-Shaghir hal. 232; Hadits lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah. Lihat Al-HAdits As-Shahihah no. 1326).

Ibnu Abdil Barr berkata : Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu
tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang. (dikutip oleh As-Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik III/103).

Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsannya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qubthiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata : Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidk melihatnya sebagai pakaian yang tipis ! Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis, namun ia mensifati (menggambarkan lekuk tubuh). (Riwayat Al-Baihaqi II/234-235; Muslim binAl-Bitthin dari Ani Shalih dari Umar).

Atsar di atas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Yang tipis (transparan) itu lebih parah daripada yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal). Oleh
karena itu Aisyah pernah berkata : "Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut."

4. HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN SESUATU DARI TUBUHNYA

Usamah bin Zaid pernah berkata : Rasulullah pernah memberiku baju Quthbiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku : "Mengapa kamu tidak mengenakan baju Quthbiyah ?" Aku menjawab : Aku pakaiakan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda : "Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Quthbiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya." (Ad-Dhiya Al-Maqdisi dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441; Ahmad dan Al-Baihaqi dengan sanad Hasan). Aisyah pernah berkata : Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya. (Ibnu Sad VIII/71).

Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah (mantel). (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II:26/1).

Ini semua juga menguatkan pendapat yang kami pegangi mengenai wajibnya menyatukan antara khimar dan jilbab bagi kaum wanita jika keluar rumah.

5. TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM

Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata : Rasulullah bersabda : "Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina." (An-Nasai II/283; Abu Daud II/192; At-Tirmidzi IV/17; Ahmad IV/100, Ibnu Khuzaimah III/91; Ibnu Hibban 1474; Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda : "Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian." (Muslim dan Abu Awanah
dalam kedua kitab Shahih-nya; Ash-Shabus Sunan dn lainnya).

Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda : "Siapapun wanita yang memakai bakhur (wewangian yang berasal dari pengasapan), maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat Isya yang akhir." (ibid)

Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah : Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata : Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : "Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi." (Al-Baihaqi III/133; Al-Mundziri III/94).

Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki (Al-Munawi dalam Fidhul Qadhir dalam mensyarahkan hadits dari Abu Hurairah).

Saya (Al-Albany) katakan : Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu
jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kitab AZ-Zawajir II/37 menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dn berhias adalah termasuk perbuatan kabair (dosa besar) meskipun suaminya mengizinkan.

6. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI

Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyrupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya.

Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria (Abu Daud II/182; Ibnu Majah I/588; Ahmad II/325; Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dari Abdullah bin Amru yang berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda : "Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita." (Ahmad II/199-200; Abu Nuaim dalam Al-Hilyah III/321)

Dari Ibnu Abbas yang berkata : Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda : "Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan." Dalam lafadz lain : "Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria." (Al-Bukhari X/273-274; Abu Daud II/182,305; Ad-Darimy II/280-281; Ahmad no. 1982,2066,2123,2263,3391,3060,3151 dan 4358; At-Tirmidzi IV/16-17; Ibnu Majah V/189; At-Thayalisi no. 2679).

Dari Abdullah bin Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : "Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang
bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu)." (An-Nasai !/357; Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi; Al-Baihaqi X/226 dan Ahmad II/182).

Dalam haits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya.

Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.


7. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIR

Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya : Firman Allah surat Al-Hadid : 16, berbunyi : "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Iqtidha hal. 43 : Firman Allah "Janganlah mereka seperti..." merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini (IV/310) berkata : Karena itu Allah melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang.

Allah berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) : "Raaina" tetapi katakanlah "Unzhurna" dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih." Ibnu Katsir I/148 berkata : Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan "Denagrlah kami" mereka mengatakan "Raaina" sebagai plesetan kata "ruunah" (artinya
ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46.

Allah telah memberi tahukan (dalm surat Al-Mujadalah : 22) bahwa tidak ada seorang mumin yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mumin, sedangkan tindakan
menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan

8. BUKAN PAKAIAN UNTUK MENCARI POPULARITAS (PAKAIAN KEBESARAN)

Berdasarkan hadits Ibnu Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : "Barangsiapa mengenakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya
dengan api neraka." (Abu Daud II/172; Ibnu Majah II/278-279).

Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya,
maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani dalam Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir berkata : "Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu.
Maksud dari Libas Syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong."

Kesimpulannya adalah :
Hendaklah menutup seluruh badannya, kecuali wajah dan dua telapak dengan perincian sebagaimana yang telah dikemukakan, jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.

Dikutip dari Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah (Syaikh Al-Albany)

Rokok terbukti mengandung berbagai-bagai jenis bahan kimia berbahaya, diantaranya ialah nikotin. Menurut pakar atau ahli kimia, telah jelas dibuktikan bahwa nikotin yang terdapat dalam setiap batang rokok atau pada daun tembakau adalah ternyata sejenis kimia memabukkan yang diistilahkan sebagai candu.

Dalam syara pula, setiap yang memabukkan apabila dimakan, diminum, dihisap atau disuntik pada seseorang maka ia di kategorikan sebagai candu atau dadah kerana pengertian atau istilah candu adalah suatu bahan yang telah dikenal pasti bisa memabukkan atau mengandung elemen yang bisa memabukkan. Dalam mengklasifikasikan hukum candu atau bahan yang memabukkan, jumhur ulama fikah yang berpegang kepada syara (al-Quran dan al- Hadith) sepakat menghukumkan atau memfatwakannya sebagai benda "Haram untuk dimakan atau diminum malah wajib dijauhi atau ditinggalkan". Pengharaman ini adalah jelas dengan berpandukan kepada hujah-hujah atau nas-nas dari syara sebagaimana yang berikut ini: "Setiap yang memabukkan itu adalah haram" H/R Muslim.

Hadith ini dengan jelas menegaskan bahawa setiap apa sahaja yang memabukkan adalah dihukum haram. Kalimah kullu (ßõáøõ)di dalam hadith ini bererti "setiap" yang memberi maksud pada umumnya, semua jenis benda atau apa saja benda yang memabukkan adalah haram hukumnya. Hadith ini dikuatkan lagi dengan hadith di bawah ini: "Setiap sesuatu yang memabukkan maka bahan tersebut itu adalah haram". H/R al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud.

Hadith di atas ini pula telah menyatakan dengan cukup terang dan jelas bahwa setiap apa saja yang bisa memabukkan adalah dihukum haram. Pada hadith ini juga Nabi Muhammad s.a.w menggunakan kalimah kullu (ßõáøõ) iaitu "Setiap apa saja", sama ada berbentuk cair, padat, debu (serbuk) atau gas.

Mungkin ada yang menolak kenyataan atau nas di atas ini kerana beralasan atau menyangka bahwa rokok itu hukumnya hanya makruh, bukan haram sebab rokok tidak memabukkan. Mungkin juga mereka menyangka rokok tidak mengandung candu dan kalau adapun kandungan candu dalam rokok hanya sedikit. Begitu juga dengan alasan yang lain, "menghisap sebatang rokok tidak terasa memabukkan langsung". Andaikan, alasan atau sangkaan seperti ini boleh diselesaikan dengan berpandukan kepada hadith di bawah ini: "Apa saja yang pada banyaknya memabukkan, maka pada sedikitnya juga adalah haram". H/R Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah.

Kalaulah meneguk segelas arak hukumnya haram kerana ia benda yang memabukkan, maka walaupun setetes arak juga hukum pengharamannya tetap sama dengan segelas arak. Begitu juga dengan seketul candu atau sebungkus serbuk dadah yang dihukum haram. Secebis candu atau secubit serbuk dadah yang sedikit juga telah disepakati oleh sekalian ulama Islam dengan memutuskan hukumnya sebagai benda yang dihukumkan haram untuk dimakan, diminum, dihisap (disedut) atau disuntik pada tubuh seseorang jika tanpa ada sebab tertentu yang memaksakan atau keperluan yang terdesak seperti darurat kerana rawatan dalam kecemasan. Begitulah hukum candu yang terdapat di dalam sebatang rokok, walaupun sedikit ia tetap haram kerana dihisap tanpa adanya sebab-sebab yang memaksa dan terpaksa.

Di dalam sepotong hadith sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad s.a.w telah mengkategorikan setiap yang memabukkan itu sebagai sama hukumnya dengan hukum arak. Seorang yang benar-benar beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w tentulah meyakini bahawa tidak seorangpun yang layak untuk menentukan hukum halal atau haramnya sesuatu perkara dan benda kecuali Allah dan RasulNya. Tidak seorangpun berhak atau telah diberi kuasa untuk merubah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi dan RasulNya kerana perbuatan ini ditakuti boleh membawa kepada berlakunya syirik tahrif, syirik ta'til atau syirik tabdil. Hadith yang mengkategorikan setiap yang memabukkan sebagai arak sebagaimana yang di dimaksudkan ialah: "Setiap yang memabukkan itu adalah arak dan setiap (yang dikategorikan) arak itu adalah haram". H/R Muslim.

Dalam perkara ini ada yang berkata bahawa rokok itu tidak sama dengan arak. Mereka beralasan bahawa rokok atau tembakau itu adalah dari jenis lain dan arak itu pula dari jenis lain yang tidak sama atau serupa dengan rokok. Memanglah rokok dan arak tidak sama pada ejaan dan rupanya, tetapi hukum dari kesan bahan yang memabukkan yang terkandung di dalam kedua-dua benda ini (rokok dan arak) tidak berbeza di segi syara kerana kedua benda ini tetap mengandungi bahan yang memabukkan dan memberi kesan yang memabukkan kepada pengguna atau penagihnya. Tidak kira sedikit atau banyaknya kandungan yang terdapat atau yang digunakan, yang menjadi perbincangan hukum ialah bendanya yang boleh memabukkan, sama ada dari jenis cecair, pepejal, serbuk atau gas apabila nyata memabukkan sama ada kuantitinya banyak atau sedikit maka hukumnya tetap sama, iaitu haram sebagaimana keterangan dari hadith sahih di atas.

Di hadith yang lain, Nabi Muhammad s.a.w mengkhabarkan bahawa ada di kalangan umatnya yang akan menyalahgunakan benda-benda yang memabukkan dengan menukar nama dan istilahnya untuk menghalalkan penggunaan benda-benda tersebut: "Pasti akan berlaku di kalangan manusia-manusia dari umatku, meneguk (minum/hisap/sedut/suntik) arak kemudian mereka menamakannya dengan nama yang lain". H/R Ahmad dan Abu Daud.

Seseorang yang benar-benar beriman dan ikhlas dalam beragama, tentunya tanpa banyak persoalan atau alasan akan mentaati semua nas-nas al-Quran dan al-hadith yang nyata dan jelas di atas. Orang-orang yang beriman akan berkata dengan suara hati yang ikhlas, melafazkan ikrar dengan perkataan serta akan sentiasa melaksanakan firman Allah yang terkandung di dalam al-Quran : "Kami akan sentiasa dengar dan akan sentiasa taat". Tidaklah mereka mahu mencontohi sikap dan perbuatan Yahudi yang dilaknat dari dahulu sehinggalah sekarang kerana orang-orang Yahudi itu apabila diajukan ayat-ayat Allah kepada mereka maka mereka akan menentang dan berkata : "Kami sentiasa dengar tetapi kami membantah".

Sebagai contoh iman seorang Muslim yang sejati ialah suatu peristiwa yang mengisahkan seorang sahabat yang terus menuangkan gelas sisa-sisa arak yang ada padanya ke tanah tanpa soal dan bicara sebaik sahaja turunnya perintah pengharaman arak. Hanya iman yang mantap dapat mendorong seseorang mukmin sejati dalam mentaati segala perintah dan larangan Allah yang menjanjikan keselamatannya di dunia dan di akhirat.

Kalaulah Nabi Muhammad s.a.w telah menjelaskan melalui hadith-hadith baginda di atas bahawa setiap yang boleh memabukkan apabila dimakan, diminum atau digunakan (tanpa ada sebab-sebab keperluan atau terpaksa), maka ia dihukum sebagai benda haram dan ia dianggap sejenis dengan arak. Penghisapan dadah nikotin yang terdapat di dalam rokok bukanlah sesuatu yang wajib atau terpaksa dilakukan seumpama desakan dalam penggunaan dadah kerana adanya sebab-sebab tertentu seperti desakan semasa menjalani rawatan atau sebagainya. Sebaliknya, penghisapan rokok dimulakan hanya kerana tabiat ingin suka-suka yang akibatnya menjadi suatu ketagihan yang memaksa si penagih melayani kehendak nafsunya. Dalam pada itu, tanpa kesedaran, ia telah membeli penyakit dan menambah masalah, mengundang kematian dan tidak secara langsung ia telah melakukan kezaliman terhadap diri sendiri di samping mengamalkan pembaziran yang amat ditegah oleh syara (haram).

Dadah (bahan yang memabukkan) telah disamakan hukumnya dengan arak oleh Nabi Muhammad s.a.w disebabkan kedua-dua benda ini boleh memberi kesan mabuk dan ketagihan yang serupa kepada penggunanya (penagih arak dan dadah). Melalui kaedah (cara pengharaman) yang diambil dari hadith Nabi di atas, dapatlah kita kategorikan jenis dadah nikotin yang terdapat di dalam rokok sama hukumnya dengan arak dan semua jenis dadah yang lain.

Kesimpulannya, rokok atau tembakau yang sudah terbukti mengandungi dadah nikotin adalah haram pengambilannya kerana nikotin sudah ternyata adalah sejenis dadah yang boleh membawa kesan mabuk atau memabukkan apabila digunakan oleh manusia. Malah dadah ini akan menjadi lebih buruk lagi setelah mengganggu kesihatan seseorang penggunanya sehingga penderitaan akibat penyakit yang berpunca dari rokok tersebut mengakibatkan kematian. Rokok pastinya menambahkan racun (toksin) yang terkumpul di dalam tubuh badan sehingga menyebabkan sel-sel dalam tubuh seseorang itu mengalami kerosakan, mengganggunya daripada berfungsi dengan baik dan membuka kepada serangan kuman dan barah.

Apabila pengambilan rokok yang mengandungi bahan yang memabukkan dianggap haram kerana nyata ia digolongkan sejenis dengan arak (ÎÜóãúÑñ) oleh Nabi Muhammad s.a.w maka di dalam hadith dan al-Quran pula terdapat amaran keras dari Allah dan RasulNya:

"Dari Abu Musa berkata : Bersabda Rasulullah saw : Tiga orang tidak masuk syurga. Penagih arak, orang yang membenarkan sihir dan pemutus silaturrahmi". H/R Ahmad dan ibn Hibban.

"Mereka bertanya kepada engkau tentang arak dan perjudian, katakanlah bahawa pada keduanya itu dosa yang besar". Al Baqarah:219.

"Hai orang-orang yang beriman, bahawasanya arak , judi, (berkorban untuk) berhala dan bertenung itu adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, sebab itu hendaklah kamu meninggalkannya semuga kamu beroleh kejayaan". Al Maidah:90.

Hadith di atas Nabi Muhammad s.a.w telah mengkhabarkan bahawa penagih arak tidak masuk dan dalam ayat di atas pula, Allah mengkategorikan arak (khamar) sejajar dengan berhala dan bertenung sebagai perbuatan keji (kotor) yang wajib dijauhi oleh akal yang sihat. Perkataan "rijs" ini tidak digunakan dalam al-Quran kecuali terhadap perkara-perkara yang sememangnya kotor dan jelek. Perbuatan yang buruk, kotor, buruk dan jelek ini tidak lain mesti berasal daripada perbuatan syaitan yang sangat gemar membuat kemungkaran sebagaimana amaran Allah selanjutnya yang menekankan bahwa: "Sesungguhnya syaitan termasuk hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan judi itu dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak mahu berhenti?". Al Maidah:91.

Justeru itu Allah menyeru supaya berhenti daripada perbuatan ini dengan ungkapan yang tajam : "Apakah kamu tidak mahu berhenti?"

Seseorang mukmin yang ikhlas tentunya menyahut seruan ini sebagaimana Umar r.a ketika mendengar ayat tersebut telah berkata: "Kami berhenti, wahai Tuhan kami, Kami berhenti, wahai Tuhan kami".

Utsman bin 'Affan r.a juga telah berwasiat tentang benda-benda yang memabukkan yang telah diistilahkan sebagai khamar (닄) "arak". Sebagaimana wasiat beliau: "Jauhkanlah diri kamu dari khamar (benda yang memabukkan), sesungguhnya khamar itu ibu segala kerosakan (kekejian/kejahatan)". Lihat : Tafsir Ibn Kathir Jld.2, M/S. 97.

Ada yang menyangka bahawa rokok walaupun jelas setaraf klasifikasinya dengan arak boleh dijadikan ubat untuk mengurangkan rasa tekanan jiwa, tekanan perasaan, kebosanan dan mengantuk. Sebenarnya rokok tidak pernah dibuktikan sebagai penawar atau dapat dikategorikan sebagi ubat kerana setiap benda haram terutamanya apabila dibuktikan mengandungi bahan memabukkan tidak akan menjadi ubat, tetapi sebaliknya sebagaimana hadith Nabi s.a.w: "Telah berkata Ibn Masoud tentang benda yang memabukkan : Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan ubat bagi kamu pada benda yang Ia telah haramkan kepada kamu". H/R al-Bukhari.

"Telah berkata Waail bin Hujr : Bahawa Tareq bin Suwid pernah bertanya kepada Nabi s.a.w tenang pembuatan arak, maka Nabi menegahnya. Maka baginda bersabda : Penulis membuatnya untuk (tujuan) perubatan. Maka Nabi bersabda : Sesungguhnya arak itu bukan ubat tetapi penyakit". H/R Muslim dan Turmizi. Allohu a’lam.

Agar puasa kita dapat sempurna ada beberapa tips yang mesti kita perhatikan. Untuk itu Al-Madina mencoba mengangkat sebuah tulisan dari Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Jarullah dalam buku beliau yang berjudul Risalah Ramadhan tentang langkah-langkah menggapai kesempurnaan ibadah puasa yang berisikan:

1. Makanlah sahur, sehingga membantu kekuatan fisikmu selama berpuasa. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

"Makan sahurlah kalian, sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah."
(HR. Bukhari dan muslim)

"Bantulah (kekuatan fisikmu) untuk berpuasa di siang hari dengan makan sahur, dan untuk shalat malam dengan tidur siang ". (HR. Ibnu Khuzaimah)
2. Akan lebih utama jika makan sahur itu diakhirkan waktunya, sehingga mengurangi rasa lapar dan haus. Hanya saja harus hati-hati untuk itu anda hendaknya telah berhenti dari makan dan minum beberapa menit sebelum terbit fajar, agar anda tidak ragu-ragu.
3. Segeralah berbuka jika matahari benar-benar telah tenggelam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

"Manusia ssenantiassa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur" (HR. Al Bukhari, Muslim dan At Tirmidzi)
4. Usahakan mandi dari hadats besar sebelum terbit fajar, agar bisa melakukan ibadah dalam keadaan suci.
5. Manfaatkan bulan ramadhan dengan sesuatu yang terbaik yang pernah diturunkan di dalamnya, yakni membaca Al Quran.

"Sesungguhnya Jibril alaihis salam selalu menemui Nabi shallallahu alaihi wa salllam untuk membacakan Al Quran baginya."
(HR. Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu)

Dan pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada teladan yang baik bagi kita.
6. Jagalah lisanmu dari berdusta, menggunjing, mengadu domba, mengolok-olok serta perkataan mengada-ada. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum." (HR. Al Bukhari)
7. Hendaknya puasa tidak membuatmu keluar dari kebiasaan. Misalnya cepat marah dan emosi hanya karena sebab yang sepele, dengan dalih bahwa engkau sedang puasa. Sebaliknya, mestinya puasa membuat jiwamu tenang, tidak emosional. Dan jika anda diuji dengan seorang yang jahil atau pengumpat, ia jangan anda hadapi dengan perbuatan serupa. Nasehatilah dia dan tolaklah dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu berpuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa".
(HR. Al Bukhari, Muslim dan para penulis kitab Sunan)

Ucapan itu dimaksudkan agar ia menahan diri dan tidak melayani orang yang mengumpatnya. Disamping, juga mengingatkan agar ia menolak melakukan penghinaan dan caci-maki.
8. Hendaknya anda selesai dari puasa dengan membawa takwa kepada Allah, takut dan bersyukur kepada-Nya, serta senantiasa istiqamah dalam agama-Nya. Hasil yang baik itu hendaknya mengiringi anda sepanjang tahun. Dan buah paling utama dari puasa adalah takwa, sebab Allah berfirman: "Agar kamu bertakwa"(Al-Baqarah: 183).
9. Jagalah dirimu dari berbagai syahwat (keinginan), bahkan meskipun halal bagimu. Hal itu agar tujuan puasa tercapai, dan mematahkan nafsu dari keinginan. Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu berkata:

"Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa".
10. Hendaknya makananmu dari yang halal. Jika kamu menahan diri dari yang haram pada selain bulan Ramadhan maka pada bulan Ramadhan lebih utama. Dan tidak ada gunanya engkau berpuasa dari yang halal, tetapi kamu berbuka dengan yang haram.
11. Perbanyaklah bersedekah dan berbuat kebajikan. Dan hendaknya kamu lebih baik dan lebih banyak berbuat kebajikan kepada keluargamu dibanding pada selain bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan ketika di bulan Ramadhan.
12. Ucapkanlah Bismillah ketika kamu berbuka seraya berdo'a:

"Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa dan atas rezki-Mu aku berbuka. Ya Allah terimalah daripadaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"

Materi aqidah kali ini membahas tentang rukun islam. Meski telah sering kita dengar, namun ada baiknya kita kembali ulang, untuk memantapkan pemahaman kita. Dalil yang berkaitan dengan rukun islam ini diantaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar -semoga Allah meridloinya- : Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

'Islam dibangun di atas 5 rukun, yaitu : Syahadat bahwa tiada illah selain Allah dan Muhammad adalah rosul Allah, Mendirikan shalat, Membayar zakat, Puasa ramadhan, dan Barhaji ke Baitullah al Haram'.

2. Sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab -semoga Allah meridloinya- ketika Jibril datang dan bertanya tentang Islam kemudian beliau menjawab;

'Islam adalah Bersyahadat bahwa tiada illah selain Allah dan Muhammad adalah rosul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa ramadhan, berhaji jika mampu dalam perjalanannya'.

3. Al Qur'an surat Ali Imran : 18 :

"Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan yang demikian). Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

4. Al Qur'an surat At Taubah : 128 :

" sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rosul dari kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat mengiginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."

5. Al Qur'an surat Al Bayyinah :5 :

"padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya lagi bersikap lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat serta mengeluarkan zakat. Demikian itulah tuntunan agama yang lurus."

6. Al Qur'an surat Al Baqarah : 183 :

" wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa."

7. Al Qur'an surat Ali Imran : 97

" padanya terdapat tanda-tanda nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim ; barangsiapa yang memasuki (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji) maka sungguh Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

Islam sendiri secara bahasa berarti : tunduk dan patuh.
Sedangkan secara istilah : memperlihatkan kepatuhan - ketundukan dan menampakkan syariat dengan berpegang pada apa yang datang dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sehingga darahnya terlindungi.

Pengertian islam ada 2 :

1. Pengertian Umum : pengertian ini mencakup semua zaman sehingga nabi Ibrahim disebut muslim pada zamannya, kaum Nabi Musa juga disebut muslim pada zamannya begitu juga kaumnya nabi Isa di sebut muslim pada zamannya. Karena mereka tunduk pada syariat Allah yang diturunkan melalui rosul-rosulNya.
2. Pengertian Khusus : mengkhususkan pada syariat nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam saja yang di sebut islam. Sehingga umat Muhammad saja yang di sebut muslim sedangkan kaum yahudi dan nasrani tidak disebut muslim mereka hanya di sebut ahlu kitab. Kondisi ini terjadi pada saat sekarang ini.

مكانة التوحيد

Oleh : Ridwan Hamidi, Lc.

Sesungguhnya kaidah Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar; satu-satunya yang diterima dan diridloi Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa untuk hamba-hamba Nya, yang merupakan satu-satunya jalan menuju kepada Nya, kunci kebahagiaan dan jalan hidayah, tanda kesuksesan dan pemelihara dari berbagai perselisihan, sumber semua kebaikan dan nikmat, kewajiban pertama bagi seluruh hamba, serta kabar gembira yang dibawa oleh para rasul dan para nabi adalah IBADAH HANYA KEPADA ALLAH Subhaanahu Wa Ta'aalaa SEMATA TIDAK MENYEKUTUKANNYA, bertauhid dalam semua keinginannya terhadap Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, bertauhid dalam urusan penciptaan, perintah-Nya dan seluruh asma (nama-nama) dan sifat-sifat Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS An Nahl: 36)
وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS Al Anbiyaa’ : 25)
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At Taubah: 31)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ(2)أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS Az Zumar: 2-3)
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”(QS Al Bayyinah: 5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa serta taat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya.” (Majmu’ Fatawa 15/25)

Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil.

Jika syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam berbagai bid’ah dan khurafat. (Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 4)

Setiap dakwah Islam yang baru muncul tidak dibangun di atas tauhid yang murni kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan tidak menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salaful ummah yang shalih, maka akan tersesat hina dan gagal, meski dikira berhasil, tidak sabar ketika berhadapan dengan musuh, tidak kokoh dalam al haqq dan tidak kuat berhadapan (dengan berbagai rintangan).

Kita saksikan banyak contoh-contoh dakwah yang dicatat dalam sejarah berbicara kenyataan yang menyedihkan ini dan akhir yang buruk. Dakwah-dakwah yang berlangsung bertahun-tahun, yang telah mengorbankan nyawa dan harta kemudian berakhir dengan kebinasaan.

Namun seorang mu’min yang yakin dengan janji Allah yang pasti benar, tidak akan putus asa dan menjadi kendor, tidak akan gentar menghadapi berbagai cobaan dan tidak akan menerima jika sekian banyak percobaan-percobaan itu berlangsung silih berganti tanpa ada manfaat yang diambil atau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. (Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no 6133) dan Imam Muslim (no 2998) serta Imam Ahmad dalam Musnadnya (2/379)

Sudah ada teladan dan contoh yang paling bagus pada diri Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat. (QS Al Ahzaab: 21)

Inilah manhaj pertama dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada tauhid, memulai dengan tauhid dan mendahulukan tauhid dan semua urusan yang dianggap penting. (Diringkas dari Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 2-6)
فضل التوحيد

(KEUTAMAAN TAUHID)

Berbicara tentang keutamaan tauhid sebenarnya terkandung unsur kewajiban untuk bertauhid. Sebab “tidak berarti bahwa adanya keutamaan pada sesuatu berarti bahwa sesuatu itu tidak wajib, karena keutamaan merupakan hasil atau buah yang ditimbulkan. Seperti sholat jama’ah yang telah jelas keutamaannya dalam hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam:
صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة

“Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendiri, dua puluh tujuh derajat.” (HR Imam Bukhari [Kitab Adzan, bab Keutamaan Shalat Jama’ah] dan Imam Muslim (Kitab Al Masajid [masjid-masjid], Bab Keutamaan Shalat Jam’ah) Keutamaan yang ada pada shalat jama’ah ini tidak berarti bahwa shalat jama’ah ini tidak wajib.

Jadi tidak selalu berarti bahwa ketika kita berbicara tentang keutamaan tauhid berarti tauhid itu tidak wajib, sebab tauhid adalah kewajiban yang paling pertama. Tidak mungkin suatu amal akan diterima tanpa tauhid. Tidak mungkin seorang hamba bertaqarrub kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa tanpa tauhid. Sekaligus bahwa tauhid juga memiliki keutamaan.

Faidah tauhid sangat banyak, diantaranya:

1. Tauhid adalah penopang utama yang memberikan semangat dalam melakukan ketaatan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa; sebab orang yang bertauhid akan beramal untuk dan karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, baik ketika ia sendiri maupun ketika bersama orang banyak. Sedangkan orang yang tidak bertauhid, misalnya seperti orang yang riya`, ia hanya akan bersedekah, shalat dan berdzikir kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa kalau ada orang yang melihatnya. Oleh karena itu sebagian ulama salaf mengatakan: Sesungguhnya saya sangat ingin bertaqarrub kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dengan melakukan ketaatan yang hanya diketahui oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

2. Orang-orang yang bertauhid akan mendapatkan ketenangan dan petunjuk, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa:
الذين ءامنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al An’aam ayat 82)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Nya semata yang tidak ada sekutu bagi Nya, dan mereka tidak menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa sedikitpun dalam berbagai hal. Mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan pada hari Qiamat dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.”

Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –hafizhalullah- mengatakan: Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa (Wahum Muhtaduun; dan merekalah orang-orang yang mendapatkan hidayah) maksudnya di dunia, (mendapatkan hidayah) menuju syari’at Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dengan ilmu dan amal. Mendapat hidayah dengan ilmu adalah hidayah irsyaad, sedangkan mendapat hidayah dengan amal adalah hidayah taufiq. Mereka juga mendapatkan hidayah di akhirat menuju surga. Hidayah di akhirat ini, untuk orang-orang yang zhalim (mereka mendapatkan hidayah) jalan menuju neraka jahim, sebaliknya untuk orang-orang yang tidak zhalim mendapat hidayah jalan menuju surga (yang penuh kenikmatan). Banyak diantara ulama tafsir yang mengatakan tentang firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa (أُولَئِكَ لَهُمُ الأَْمْنُ) mereka adalah orang-orang yang mendapatkan rasa aman: Rasa aman itu di akhirat sedangkan hidayah itu di dunia. Pendapat yang lebih tepat bahwa rasa aman dan hidayah itu bersifat umum, baik di dunia maupun di akhirat.”

Ketika ayat ini turun dirasakan berat oleh para sahabat -radliyallaahu 'anhum-. Mereka mengatakan: “Siapakah diantara kita yang tidak menzholimi dirinya sendiri ?” Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menjelaskan: “Maksud ayat tersebut bukan seperti yang kalian kira, yang dimaksud zholim dalam ayat tersebut adalah syirik, tidakkah kalian mendengar perkataan lelaki yang sholeh, Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم

“Sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS Luqman: 13)

Ada beberapa jenis zholim:

1) Zholim yang paling besar yaitu syirik dalam hak Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

2) Zholim yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri, dengan tidak memberikan haknya, seperti orang yang berpuasa dan tidak berbuka, orang yang shalat malam terus dan tidak tidur.

3) Zholim yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, misalnya memukul, membunuh, mengambil harta dan lain-lain.

Jika tidak ada kezholiman maka akan terwujud keamanan. Namun apakah keamanan yang smepurna ?

Jawabannya: jika imannya sempurna dan tidak dicampuri ma’shiyat maka akan terwujud rasa aman yang mutlak (sempurna), jika iamnnya tidak sempurna maka yang akan terwujud adalah rasa aman yang kurang juga.

Contohnya: Orang yang melakukan dosa besar. Ia akan aman dari ancaman tinggal kekal di neraka, tetapi tidak aman dari adzab yang akan menimpa dirinya, tergantung kehendak Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa (apakah diampuni atau di adzab?). Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:

إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS An Nisaa` ayat 116)

Ayat ini (QS Luqman ayat 13) Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa nyatakan sebagai pemutus antara Nabi Ibrahim 'alaihis salaam dengan kaumnya ketika beliau mengatakan kepada mereka:

وكيف أخاف ما أشركتم ولا تخافون أنكم أشركتم بالله ما لم ينزل به عليكم سلطانا فأي الفريقين أحق بالأمن إن كنتم تعلمون

Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?” (QS Al An’am: 81)

Kemudian Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
الَّذِينَ ءامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأَْمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al An’aam ayat 82)
الشرك
SYIRIK

Pembatal ke-Islaman seseorang yang paling besar adalah syirik kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Oleh karena itu kita temukan dalam al Qur`an Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa mengingatkan kita (agar menjauhkan) syirik, orang-orang yang melakukan syirik dan akibat yang akan mereka rasakan, dalam banyak ayat. Lafadz syirik dan bentukannya disebutkan berulang-ulang dalam al Qur`an lebih dari 160 kali. Demikian juga dalam sunnah, kita temukan sangat banyak hadits-hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan bahayanya.



PENGERTIAN SYIRIK

Menurut bahasa: Syirik adalah sebuah kata yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang terjadi antara dua orang atau lebih.

Menurut istilah syar’i: Syirik kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa maksudnya menjadikan sekutu bagi Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, baik dalam rububiyahnya ataupun uluhiyahnya, tetapi istilah syirik lebih sering digunakan untuk syirik dalam uluhiyahnya.

Atau: menyamakan selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dengan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam hal-hal yang menjadi hak Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.



HUKUM SYIRIK

Syirik adalah larangan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa yang paling besar. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman dalam surat An Nisaa` ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”

Syirik juga merupakan perbuatan haram yang pertama (harus ditinggalkan). Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman dalam surat Al An’aam ayat 151:

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).”



PENGGUNAKAN KATA SYIRIK

Jika anda mendapat istilah syirik dalam buku aqidah maka maksudnya bisa berarti syirik akbar atau syirik ashghar. Maka anda jangan menghina orang-orang yang mendakwahkan tauhid bahwa mereka selalu menghukumi segala sesuatu dengan syirik. Fahamilah setiap ungkapan pada tempatnya yang tepat.

Oleh karena itu anda perlu mengetahui bahwa syirik dalam pengertian syar’I digunakan untuk tiga makna:

1. Meyakini ada sekutu bagi Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam kekuasaan, rububiyah, mencipta, memberi rizqi dan mengatur alam. Siapa yang meyakini bahwa ada orang yang mengatur alam ini dan mengatur seluruh urusannya, maka ia telah menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam rububiyah dan telah kafir kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Dalil-dalil (argumen-argumen) yang menunjukkan bathilnya keyakinan akan adanya dzat lain selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa yang memiliki hak rububiyah sangat banyak dan begitu jelas, baik dalil yang bisa kita saksikan dari alam ini maupun dalil sam’i (al Qur`an dan as Sunnah). Diantaranya firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam surat Saba` ayat 22:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلاَ فِي الأَْرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ

Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya”.

Syirik jenis ini tidak terjadi pada semua orang kafir di zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebagian mereka meyakini bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa adalah pencipta dan pengatur alam. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَْرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS Al Ankabut: 61)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الأَْرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya).” (QS Al Ankabut: 63)

2. Meyakini adanya dzat selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa yang bisa memberikan manfaat atau madlarat, dzat ini merupakan perantara antara Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan makhluq, maka sebagian jenis ibadah ditujukan padanya. Inilah yang dinamakan syirik dalam uluhiyyah. Syirik inilah yang banyak dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka mengatakan tentang sembahan mereka
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

(mereka berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS Az Zumar: 3)

Inilah keyakinan yang tersebar di kalangan mereka, sebagaimana friman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam surat Ghafir ayat 12:
ذَلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ وَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

“Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja yang disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan, maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa menceritakan keadaan mereka dalam surat Shaad: 4-5

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ () أَجَعَلَ الآْلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.

Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa menceritakan bahwa tauhid kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan meninggalkan syirik adalah sebab diutusnya para rasul. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman dalam surat Ar Ra`d ayat 36:
قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali”.

Syirik akan merusak dan menghapus semua amal dan hal ini berlaku pada seluruh umat. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman dalam surat Az Zumar ayat 65:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”

Oleh karena itu Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa memerintahkan (hamba-hamba Nya) untuk beribadah kepada Nya dan melarang menyekutukan (syirik kepada) Nya dalam banyak ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS An Nisaa` ayat 36)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, (QS An Nahl ayat 36)

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَنْ لاَ تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ () وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS Yasiin ayat 60-61)

3. Mempertimbangkan (dapat perhatian, pujian dan lain-lain) dari selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam perkataan maupun perbuatan. Adapun mempertimbangkan perhatian atau pujian dalam perbuatan seperti riya yang dilakukan oleh orang yang rajin ibadah, misalnya ketika shalat, ia panjangkan berdiri, ruku’ dan sujudnya kemudian ia tampakkan kekhusyu’annya di hadapan orang banyak, ketika ia puasa, ia tampakkan bahwa dirinya sedang puasa, misalnya dengan mengatakan: “Apa anda tidak tahu bahwa hari ini Senin (atau Kamis) ?” “Apa anda tidak puasa ?” Atau ia katakan: “Hari ini saya undang anda untuk berbuka puasa bersama ?” Demikian pula haji dan jihad. Ia pergi haji dan jihad tetapi tujuannya riya`.

Riyanya orang-orang yang cinta dunia seperti orang yang angkuh dan sombong ketika berjalan, memalingkan mukanya atau menggerakkan kendaraannya dengan gerakan khusus.

Riya` dengan teman atau orang yang berkunjung ke rumahnya, seperti orang yang memaksakan diri meminta seorang ‘alim atau seorang yang dikenal ahli ibadah untuk datang ke rumahnya agar dikatakan bahwa fulan telah mengunjungi rumahnya, atau sebaliknya ia kunjungi mereka (orang-orang ‘alim dan ahli ibadah) agar dikatakan bahwa kami telah mengunjungi fulan atau kami telah bertemu dengan ‘alim fulan dan yang lainnya.

Sedang riya dengan perkata yang dilakukan oleh orang-orang ahli agama seperti orang yang memberikan nasehat di majlis-majlis, kemudian ia menghafal hadits-hadits dan atsar-atsar khusus untuk acara-acara tertentu agar bisa berbicara dan debat dengan orang-orang, sehingga tampak di hadapan mereka bahwa ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal tersebut, tampak di hadapan mereka bahwa ia memiliki ilmu yang kuat dan perhatian yang besar terhadap keadaan ulama-ulama salaf, tetapi ketika kita lihat di rumahnya bersama keluarganya, ia adalah orang jauh dari keadaan tersebut. Contoh lain adalah menggerak-gerakkan kedua bibir untuk berdzikir di hadapan orang banyak dan menampakkan kemarahan terhadap kemunkaran di hadapan orang, tetapi ketika ia berada di rumah ia tidak mengingkari atau lalai melakukan hal tersebut.

Semua perbuatan ini mengurangi kesempurnaan tauhid dan ikhlas.

Sangat banyak dalil-dalil yang menunjukkan tercelanya perbuatan ini, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id al Khudri, ia berkata: Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ألا أخبركم بما هو أخوف عليكم عندي من المسيح الدجال ؟ قال: قلنا: بلى, قال: الشرك الخفي أن يقوم الرجل يصلي فيزين صلاته لما يرى من نظر رجل.

“Maukah kalian saya beritahu tentang perbuatan yang bagi saya itu lebih saya takuti daripada Al Masih Ad Dajjal? Kami katakan: Ya,” Ia berkata: “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Syirik khafiyy (yang tersembunyi) yaitu seseorang mengerjakan shalat kemudian ia perbaiki shalatnya karena ia mengetahui ada orang yang melihatnya.” (Menurut Syaikh Al Albani rahimahullah hadits ini hasan. Shahih Sunan Ibni Majah 2/310 hadits no 3389).

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
من سمع سمع الله به ومن راءى راءى الله به

“Siapa yang memperdengarkan amalnya maka Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa akan memperdengarkan (aibnya) dan siapa yang riya` maka Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa akan akan menampakkan (aibnya pada hari Qiamat.”



MACAM-MACAM SYIRIK

Para ulama berbeda pendapat dalam mengungkapkan pembagian syirik meski intinya tidak terlepas dari tiga penggunaan kata syirik yang telah dibahas di atas. Namun pembagian yang merangkum semuanya bisa kita katakan bahwa syirik terbagi menjadi dua:

1. Syirik Akbar.

Syirik ini terbagi menjadi dua:

1) Syirik yang berkaitan dengan dzat Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa atau syirik dalam rububiyah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Syirik ini terbagi lagi menjadi dua:

(1) Syirik dalam ta’thil, seperti syirik yang dilakukan oleh Fir’aun dan orang-orang atheis.

(2) Syirik yang dilakukan oleh orang yang menjadikan sembahan lain selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa tetapi tidak menafikan asma (nama-nama), sifat-sifat dan rububiyah Nya, seperti syirik yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yang menjadikan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa sebagai salah satu dari tiga Tuhan (trinitas).

2) Syirik yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa atau syirik dalam uluhiyyah. Syirik ini ada empat jenis:

(1) Syirik dalam berdo’a; yaitu berdo’a kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

(2) Syirik dalam niat, keinginan dan kehendak. Beramal karena ditujukan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa menyebabkan pahalanya hilang.

(3) Syirik dalam keta’atan; yaitu seorang hamba taat kepada makhluk dalam perbuatan ma’shiyat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

(4) Syirik dalam mahabbah; yaitu seorang hamba mencintai makhluk seperti cintanya kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

2. Syirik Ashghar.

Syirik Ashghar terbagi menjadi dua:

1) Yang Zhahir (tampak);

- mengerjakan amal dengan riya`. Melakukan perbuatan untuk selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa yang zhahir (tampak)nya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, tetapi dalam hatinya tidak ikhlas karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.

- dengan ucapan, seperti bersumpah dengan selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, perkataan: Ma Syaa Allah wa Syi`ta.

2) Yang Khafiyy (samar);

Yaitu sesuatu yang kadang-kadang, terjadi dalam perkataan atau perbuatan manusia tanpa ia sadari bahwa itu adalah syirik. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas -radliyallaahu 'anhuma- bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الشرك فى أمتي أخفى من دبيب النمل على الصفا

“Syirik bagi umatku lebih halus (samar) dari pada barjalannya semut di atas batu yang licin (hitam).” (Hadits ini dishahihkan oleh Syekh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no 3730 dan 3731)

Karena begitu halusnya syirik ini sehingga para sahabat bertanya pada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bagaimana caranya terhindar dari syirik ini? Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: Katakanlah (Bacalah) oleh kalian semua

اللهم إنا نعوذبك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلمه

“Ya Allah, kami berlindung kepada Mu dari perbuatan (kami) menyekutukan Mu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami memohon ampunan kepada Mu dari sesuatu yang tidak kami ketahui.” (HR Imam Ahmad 4/403 dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Kabir dan Ausathnya sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami 10/223-224. Al Haitsami mengatakan: Rawi-rawinya Imam Ahmad adalah rawi-rawi shahih selain Abu Ali dan ia dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban).

(Disarikan dari buku Syarh Nawaqidhit tauhiid, tulisan Syekh Abu Usamah Hasan bin Ali Al ‘Awaji, Maktabatul Liinah, cet pertama, 1993-1413)